ShareIslam
News Update
Loading...

Featured

[Featured][recentbylabel]

Featured

[Featured][recentbylabel]

Asal SEO

Sunday 16 July 2017

Shalatlah

Shalatlah


Shalatlah, kawan

Aku tahu, shalat wajib seringkali menjadi rutinitas yang berat untuk dilakukan. Terutama di kalangan generasi muda, di mana dunia mereka sangat dibentuk oleh gadget dan lingkaran pertemanan. Maka saat mereka tenggelam di dalam ‘dunia’ itu, segala sesuatu di luar itu menjadi tidak relevan. Segalanya. Termasuk Islam sekalipun, termasuk shalat sekalipun.

Maka, akan aku katakan padamu sekali lagi: shalatlah, kawan.

“Ah, khalid… mengapa aku harus shalat?

Jujur saja, shalat itu tidak seru. Monoton. Tidak seasyik bergadget ria, bersosmed, dan berkumpul dengan teman yang penuh canda dan tawa. Hidupku sudah cukup dengan itu.

Aku tidak akan bohong, aku tidak menemukan alasan yang kuat mengapa aku harus shalat.”

Ah, itu pertanyaan yang sangat bagus. Jujur pula. Tidak perlu khawatir, kawan, saat aku jauh lebih muda, aku juga kesulitan menemukan alasan yang kuat mengapa aku harus shalat. Aku mengerti itu. Faktanya, aku menghabiskan separuh hidupku untuk mencari alasan itu.

Alhamdulillah, seiring waktu, akhirnya aku menemukan alasanku sendiri. Apakah alasan ini berlaku untukmu? Entahlah. Namun akan aku ceritakan padamu.

***

Mengapa harus shalat? Apakah karana ia wajib? Shalat memang wajib, tetapi ada alasan yang lebih kuat dari itu.

Apa karena shalat mendatangkan pahala? Itu betul, tetapi ada alasan yang lebih kuat dari itu.

Apa karena shalat adalah salah satu syarat utama masuk surga dan bila ditinggalkan masuk neraka? Itu juga betul, tetapi ada alasan yang lebih kuat dari itu.

“Wajib”, “dosa”, “pahala”, “surga”, dan “neraka” adalah lima alasan yang kerap ditekankan orang-orang di sekitarku saat mereka menasehatiku untuk shalat. Namun, aku mendapati tidak ada satupun dari alasan itu yang benar-benar membuatku tertarik untuk shalat. Aku malah takut dibuatnya, terutama alasan “dosa” dan “neraka”, yang alih-alih memotivasi, malah membuatku meringkuk gemetaran dan jauh dari shalat.

Padahal, ada satu alasan lagi. Dan ini, bagiku, adalah alasan yang terkuat.

Shalat dilakukan… karena ia membuatmu bahagia.

Itu.

Itu alasannya.

Shalat itu membahagiakan karena sifat alami dunia ini.

Kamu tahu, dunia ini diciptakan untuk memaksa kita berlari. Bahkan tidak sekedar berlari, tetapi berlari sangat kencang. Demi mengejar cita-cita, ambisi, dan pencapaian-pencapaian lain. Demi meraih “standar hidup bahagia” yang diciptakan oleh para manusia, yang notabene makhluk-makhluk yang sangat egois.

Namun berlari terlalu kencang juga punya resikonya, kawan, yaitu rentan tersandung dan terjatuh. Lalu tersungkur menyakitkan. Meninggalkan luka dan lebam di sekujur tubuh yang mungkin tak akan sembuh dalam waktu singkat.

Kalau pun kamu tidak tersandung, sudah pasti kamu akan kelelahan. Otot-otot akan kram. Peluh di pelipis akan jatuh melewati bulu mata menuju bola mata dan mengaburkan pandangan. Kamu akan berpikir, sebaiknya berhenti berlari saja. Tidak perlu melanjutkannya lagi. Diam saja di tempat seperti patung yang mati.

Tidak ada yang mau terjatuh atau hanya diam saja, kan?

Maka itu, shalat wajib lima waktu ada sebagai REM dari larimu itu.

Supaya larimu yang beringas dan tak terkendali itu melambat dan terjaga pada kecepatan yang wajar. Membuat ritme langkahmu lebih teratur, pun staminamu terjaga sehingga kamu tetap semangat untuk terus berlari, minimal berjalan maju.

Dan mana kala ada persimpangan di hadapanmu, kamu bisa melambat sejenak dan merenung: arah mana yang harus kamu ambil? Apakah kanan, kiri, atau arah yang lurus?

Tidak semua jalan mengantarkanmu pada tujuan, kawan. Banyak sekali di antaranya membuatmu linglung, tak tahu harus kemana. Maka shalat akan membantumu menentukan arah dan memantapkannya. Kebahagiaan pun akan datang dari sana.

Dan sungguh, kawan, bila shalat membuatmu bahagia, apa kamu butuh alasan lain untuk melakukannya? Tidak perlu, kan? Tidak ada manusia yang tidak menyukai kebahagiaan.

“Benarkah itu, khalid? Aku masih ragu… Toh, aku sudah cukup bahagia tanpa shalat. Bersama teman-temanku sudah cukup membahagiakan.”

Ah, pertemanan itu memang membahagiakan. Ia salah satu hal terindah. Namun seindah-indahnya pertemanan, sifatnya sementara. Teman itu datang dan pergi. Kebahagiaan yang datang darinya itu naik turun. Banyak jeda ‘kosong’ di antaranya. Pun sama halnya dengan banyak aktivitas lain di dunia ini.

Namun dari shalat, bahagia yang datang darinya tak lekang. Awet.

Kamu tahu? Satu waktu shalat yang ikhlas dan tuma’ninah bisa mendatangkan kebahagiaan untuk hari ini, besok, minggu depan, hingga bulan-bulan berikutnya. Ini terbukti. Bukan teori atau manis kata. Efeknya... luar biasa. Tidak ada yang seperti ini.

Inginkah merasakan sensasi menggiurkan itu?

Shalatlah dan buktikan sendiri.

- Khalid -

Thursday 13 July 2017

Berhijrah

Berhijrah


Aku rasa setiap muslim --terutama yang sudah akil bhaliq-- pasti pernah, sedang, atau InshaAllah akan melalui sebuah fase dalam hidup yang dinamakan “hijrah”.

Hijrah aku artikan sebagai sebuah proses menjadi seorang muslim yang lebih baik. Namun, dalam artikel ini, arti hijrah aku fokuskan pada masa peralihan seorang muslim yang menganggap agamanya sebagai 'asesoris' belaka menjadi seorang muslim yang menganggap agamanya sebagai jalan hidup mereka.

Atau --dengan bahasa yang sedang viral-- hijrah adalah proses di mana seorang muslim yang agamanya sekedar warisan berubah menjadi muslim yang agamanya adalah pilihan hatinya.

Berhijrah adalah keniscayaan bagi semua muslim yang memang serius ingin mendalami agamanya. Dan itu patut kita sadari karena tidak ada orang yang seketika menjadi alim sejak lahir. Bahkan tidak untuk nama-nama besar seperti Adi Hidayat, Khalid Basalamah, Felix Shiauw, Reza Syafi Basalamah, Aa Gym, dan Zainudin MZ sekalipun. Pasti semuanya pernah melewati fase hijrah.

Kalau kamu mengenal Nouman Ali Khan, mungkin kamu akan terkejut dengan masa mudanya. Nouman ternyata pernah menghabiskan masa remajanya untuk hura-hura, bahkan secara terang-terangan membenci komunitas Islam dan segala macam perilakunya. Bahkan beliau lupa berapa jumlah rakaat shalat Maghrib. Padahal beliau terlahir dalam keluarga muslim.

Namun atas izin Allah, pemuda asal Pakistan itu tergerak untuk mempelajari Al-Quran dan tumbuh besar menjadi seorang da’i. Beliau adalah inspirator lahirnya page “khalid” ini dan –menurutku-- salah satu da’i terbaik bagi generasi milenial.

***

Bila berkaca pada pengalamanku sendiri, hijrah memang sebuah fase yang spesial dan penuh perubahan. Umpama metamorfosis pada ulat, hijrah adalah kepompong yang mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Meskipun, tentu saja, hijrah tidak benar-benar mengubah tampilan fisik seseorang layaknya metamorfosis, tetapi sebatas mengubah pola pikir dan perilakunya.

Sebelum berhijrah, seseorang akan cenderung berpikir dan berperilaku bebas. Namun setelah berhijrah, rasa keterikatan pada Islam akan muncul, di mana rasa keterikatan itu perlahan akan menghapus kebiasaan, perilaku, ucapan, hingga minat-minat lamanya yang cenderung semaunya sendiri. Semuanya diganti dengan ketundukan pada aturan Islam.

Nah, bicara tentang minat, aku pribadi merasa bahwa faktor tersebut adalah yang paling terkena dampak dari hijrah. Ada setidaknya tiga minatku yang menurun drastis karena berhijrah.

Pertama, menurunnya minatku pada musik.

Meski bukan musisi, aku pernah jadi pecandu musik. Memasang earphone di telinga dan memutar ratusan lagu dari telepon pintar kerap menjadi ‘pelarian’-ku di kala bosan, senggang, atau sedang galau. Mendengarkan lagu dengan segala lirik manisnya bisa membuat sel-sel otakku lebih hidup dan bergembira. Penatku juga bisa hilang seketika.

Namun, ketika berhijrah, sensasi itu berubah drastis. Mendengar musik terasa ‘kosong’. Nada-nada indah dari sang vokalis dan berbagai instrumen yang dimainkan krunya --yang biasanya begitu mudah menenangkan hatiku—kini seakan diboikot oleh telingaku. Bukan berarti aku jadi benci musik, hanya saja aku jadi tidak menikmatinya seperti dulu.

Kedua, menurunnya minatku pada cerita-cerita fantasi.

Kamu tahu, aku pernah menjadi geek yang mengidolakan cerita-cerita berbasis imajinasi dan khayalan bebas. Novel-novel, komik-komik, dan film-film bertema fiksi ilmiah dan fantasi kerap aku santap karena alasan yang sama dengan mendengar musik: mereka membuat sel-sel otakku lebih hidup dan menghilangkan penat. Namun minat tersebut juga menurun drastis saat hijrah. Cerita-cerita fantasi itu jadi tidak semenggugah sebelumnya.

Ketiga, menurunnya minatku pada hobi menggambar.

Ya, aku pernah hobi menggambar. Hobi sekali, terutama menggambar manusia. Bisa berjam-jam waktu aku habiskan untuk menggambar. Bahkan aku pernah menggambar beberapa portait beraliran realis untuk aku berikan pada gadis-gadis yang aku taksir *uhuk*. Alasanku menggambar lagi-lagi sama dengan mendengar musik dan menikmati cerita fantasi: untuk bergembira dan menghilangkan penat. Namun, lagi-lagi pula, berhijrah telah menurunkan minat menggambarku. Bahkan aku tidak pernah menggambar lagi sekarang.

Semua perubahan itu terjadi secara natural seiring waktu. Begitu saja.

Kamu mungkin bertanya-tanya, mengapa perubahan-perubahan itu bisa terjadi???

Itu pertanyaan bagus. Ada alasan logis di baliknya.

Bila diperhatikan, ada seutas benang merah pada minatku terhadap 3 hal di atas. Baik musik, cerita fantasi, maupun menggambar, ketiganya adalah aktivitas yang begitu mengedepankan khayalan dan imajinasi bebas dari para penikmatnya. Mereka adalah hasil kreasi tanpa aturan yang mengikat.

Sementara itu, Islam adalah tentang realita --tentang kenyataan. Agama ini mengajarkan kita untuk menghadapi kenyataan-kenyataan paling pahit sekalipun dengan gagah berani. Bukan justru lari darinya, seperti dengan cara berkhayal dan berimajinasi bebas. Ugh! Pasalnya, dalam ilmu psikologi, berkhayal tanpa arah merupakan salah satu jenis “emotion focused-coping”, alias cara menyelesaikan masalah dengan cara berpura-pura masalah itu tidak pernah ada. Mudahnya, seperti lari dari kenyataan.

Nah, ketika kamu berhijrah, perlahan kamu akan mendapat kemampuan untuk menghadapi kenyataan dengan cara-cara yang lebih bertanggung jawab. Yang memang memiliki jalan keluar. Maka itulah, kebiasaanmu yang identik dengan lari dari kenyataan –seperti berimajinasi bebas tadi-- akan ditinggalkan dengan sendirinya. Mereka sudah satu paket.

Mungkin kamu akan bertanya lagi: bila konsekuensi hijrah adalah hilangnya minatmu pada segala sesuatu yang berbau khayalan dan imajinasi bebas, apakah hidup bakal terasa membosankan?

Ha, prasangka itu memang mungkin muncul.

Namun percayalah, di sini lah letak keindahan Islam. Di saat pikiranmu sedang berkelana tak tentu arah seperti musafir yang tidak membawa peta, Islam turun menjadi peta itu. Ia akan meluruskan arahmu dan memantapkan langkahmu, yang bila kamu titi dengan sabar, kedamaian hati akan kamu rengkuh.

Pikirkan, apalagi hadiah yang lebih manis dari kedamaian hati di tengah kehidupan yang penuh cela dan tidak sempurna ini?

Hanya Islam yang memberi kekuatan seperti ini. Maka itu, yuk berhijrah.

- Khalid -
Idolaku

Idolaku


Idolaku | www.shareislam.id
Butuh waktu hampir seumur hidupku untuk menyadari satu hal : bahwa tidak ada yang lebih layak menjadi idola nomor wahidku selain baginda Rasulullah Saw.

Aku sedikit menyesalinya. Pasalnya, ketika belum mengenal beliau, aku kerap merasa kekurangan.

Aku melihat sekelilingku dan meratap pilu.

Mengapa orang lain selalu memiliki apa yang tidak kumiliki?

Mengapa orang lain selalu selangkah lebih maju dari diriku?

Mengapa orang lain terlihat lebih independen dariku?

Melihat mereka, tak ayal, rasa iri dan kedengkian merundung diriku. Aku merasa tertinggal dan langkahku berat. Aku tak pernah merasa tenang.

Aku membenci diriku dan sering berandai bisa dilahirkan sebagai manusia yang berbeda. Manusia yang lebih mapan, lebih tampan, lebih pintar, lebih disukai, dan kelebihan lain yang bisa membuatku terlihat lebih mulia. Walau aku sadar, semua itu hanyalah angan kosong, yang hanya membuatku semakin bersedih.

Namun kemudian, aku mulai meniti rekam jejak sang baginda. Ku baca untaian kata-kata dari para cendekia yang menuturkan kisahnya.

Seketika, aku tertegun. Aku menunduk. Merasa berdosa.

Di dunia ini, mungkin tidak ada satu orang pun yang pernah kehilangan sebanyak baginda Rasulullah SAW.

Beliau telah kehilangan SEMUANYA.

Coba kamu sebutkan. Tenaga, waktu, ketenaran di mata kaum Quraisy, harta, rasa aman, dan nyaris pula jiwanya. Berkali-kali. Semua telah dikorbankannya demi memperjuangkan satu hal : tauhid.

Tauhid bukanlah kekayaan, kerupawanan, ketenaran, kepintaran, atau apa pun yang bisa membuat seseorang manusia tampak mulia di mata manusia lainnya. Ia hanyalah suatu keyakinan yang tidak kasat mata, tetapi melekat kuat di relung hati Baginda. Namun, hanya dengan itu, sang baginda rela mengorbankan segalanya.

Kota Tha’if menjadi saksi bisu pengorbanan baginda. Saat itu, beliau hanya berdua dengan salah satu sahabatnya, Zaid bin Haritsah. Beliau lalu menuturkan ide ketauhidan kepada penduduk Tha’if, yang ternyata dibalas dengan cemooh kasar dan lemparan-lemparan batu.

Baginda pun melarikan diri dari Tha’if dengan keadaan minimum. Beliau sangat lelah, berduka, dan sekujur tubuh penuh luka. Aku geram. Itukah yang didapatnya setelah sekian lama memperjuangkan tauhid? Sangat tidak adil, batinku.

Nampaknya, malaikat Jibril pun beropini demikian. Pasalnya, setelah itu sang malaikat turun mendatangi baginda. Dia memberi kabar dari Allah SWT. Kabar yang berisi izin kepada baginda untik menimpakan dua gunung terbesar di Mekkah kepada penduduk tha’if yang telah menorehkan luka di hati dan tubuhnya. Supaya mereka mati dan tahu rasa. Aku pun mengangguk setuju.

Namun, apa jawaban beliau?

“Jangan. Siapa tahu Allah akan mengeluarkan seseorang yang berucap kalimat ‘tiada tuhan selain Allah’dari rahim mereka.” (The Great Story of Muhammad, hal 178)

Aku merinding. Beliau telah kehilangan banyak hal, tetapi ia tidak kehilangan nuraninya..

Jadi, bagaimana mungkin aku masih merasa kekurangan? Sementara pernah ada seseorang yang telah kehilangan segalanya. Namun ia tak pernah merasa kekurangan. Tauhid selalu mencukupinya dan prasangka baik selalu menenangkannya. Dan ia adalah manusia termulia yang pernah ada.

Tak ayal, baginda Rasulullah SAW langsung menjadi idolaku. Dan selayaknya jadi idola siapapun. Demi ketenangan hatimu.

- Khalid -
Menanggapi Pernyataan KH Maman Imanulhaq yang Menyamakan Semua Agama

Menanggapi Pernyataan KH Maman Imanulhaq yang Menyamakan Semua Agama


Kaget juga ketika saya mendengar dan melihat sebuah cuplikan video yang disampaikan oleh seorang kiai, yang berinisial KH. M-I-A.
Dalam ceramahnya di sebuah tv swasta nasional itu, beliau mengatakan:

"Agama itu akan dilihat dari apa yang kita kerjakan. Jangan lihat apa agamamu, tapi lihat apa yang dikerjakan temanmu pada kita. Orang yang jujur, orang yang shalih, punya solidaritas sosial, punya dedikasi, punya loyalitas, apapun agamanya, dia pasti mendapat tempat yang terbaik di sisi Allah Subhaanahu wa Ta'ala".


Tanggapan:

1. Ada kontradiksi, ketika beliau mengatakan:

"orang yang shalih..."

setelah itu mengatakan:

"apapun agamanya".

Pertanyaan saya:
"Bisa tidak seseorang dikatakan shalih, kalau dia tidak memeluk agama Islam?".

Jawabannya:
tentu tidak bisa.

Pernahkan kita mendengar ungkapan:
"Seorang Nasrani yang shalih. Seorang Yahudi yang shalih. Seorang Majusi yang shalih".

Tentu tidak pernah. Karena shalih itu hanya untuk muslim saja.

2. Nampak sekali beliau hanya memperhatikan aspek-aspek sosial saja.
Tidak memperhatikan aspek keimanan.
Orang dianggap baik, jika dia sudah bisa jujur, punya solidaritas, punya loyalitas, punya dedikasi.

Kalau hanya dengan itu saja orang dianggap baik, maka kita tidak butuh yang namanya agama.
Kenapa?
Karena sifat-sifat itu bisa dimiliki oleh siapa saja, tanpa harus menunggu belajar agama.

Orang yang "fitrahnya" baikpun akan melakukan hal tersebut. Tanpa harus belajar agama.

Saya belajar agama Islam secara intensif, sejak kelas 2 SMA.

Tapi sebelum itu, saya sudah tahu jika jujur, punya jiwa solidaritas, punya dedikasi dan punya loyalitas, adalah hal-hal baik yang bisa kita lakukan di tengah masyarakat.

Semua orang sudah mengerti tentang hal itu.

Tentu, harus dikecualikan orang-orang gila atau tidak waras.
Karena mereka tidak akan faham dengan makna kejujuran dan 3 hal lain tersebut di atas.

3. Dari yang disampaikan, nampak sekali jika beliau ini menganggap semua agama itu sama.
Yang penting adalah kita bisa berbuat baik dengan sesama manusia.

Ini tidak benar.

Mengapa?

Karena manusia itu pada dasarnya diciptakan untuk ibadah.
Agar kita bisa menjadi hamba yang baik, ( karena banyak melakukan ibadah), maka kita harus mengembalikan dan menyesuaikan apa yang kita kerjakan ini, kepada apa yang diperintahkan kepada kita.

Kita menjadi orang jujur. Kenapa?
Karena Allah memerintahkan hal itu.

Kita menjadi orang yang berjiwa solidaritas tinggi.
Kenapa?
Karena Allah memerintahkan hal itu.

Kita menjadi orang yang punya loyalitas tinggi. Kenapa?
Karena Allah memerintahkan hal itu.

Kita menjadi orang yang berdedikasi tinggi. Kenapa?
Karena Allah memerintahkan hal itu.

Tentu, banyak sekali dalil yang menjelaskan atau memerintahkan keempat hal tersebut.

Kita mengerjakan kebaikan karena itu adalah bagian dari perintah. Dengan begitu kita dianggap oleh Allah sebagai hamba yang baik.

Kalau ada orang yang namanya A, meninggalkan minuman keras karena memang dia tidak suka minum minuman keras, maka dia tidak mendapatkan pahala apapun, meskipun dia meninggalkan sesuatu yang dilarang.
Kenapa? Karena dia meninggalkan sesuatu itu karena memang pada dasarnya sudah tidak suka.
Ada larangan atau tidak ada larangan, dia akan meninggalkannya.

Berbeda dengan B, dia suka minum minuman keras. Tapi minuman itu dia tinggalkan, karena ada larangan dari Allah. Dia meninggalkannya karena semata-mata ingin melakukan ketaatan kepada Allah. Maka dia mendapatkan pahala, karena ketaatan yang dilakukannya.

4. Ada banyak dalil, yang menunjukkan bahwa hanya Islam inilah agama yang benar di sisi Allah.
Diantaranya:
1. QS. Ali Imran: 19
2. QS. Ali Imran: 85
3. QS. Ali Imran: 86
4. QS. Al Maidah: 3
5. QS. Al Furqan: 23

6. Dan Ayat-Ayat lainnya

7. Sabda Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

"Demi (Allah) yang jiwa Muhammad di tanganNya, tidaklah seorangpun dari umat ini -baik Yahudi atau Nashrani- mendengar tentang aku, kemudian dia mati dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penduduk neraka".
(HR. Muslim, dari Abu Hurairah).

8. Dan Hadits-hadits yang lain.

5. Apa yang saya tulis ini bukan berarti saya menyalahkan-nyalahkan dan tidak menghormati pemeluk agama yang lain.

Tidak.
Tidak sama sekali.

Saya anak lulusan SMA.
Banyak teman sekolah saya yang beragama lain.

Saya tahu, bagaimana saya harus mengekspresikan nilai-nilai tauhid atau akidah yang saya yakini, dan bagaimana saya harus menghormati teman-teman pemeluk agama yang lain.

Prinsipnya adalah:
"Bagimu agamamu, bagiku agamaku"

Silakan anda beribadah menurut keyakinan anda.
Saya akan hormati anda.
Saya tidak akan ganggu anda.

Tapi saya tidak bisa terima, jika agama saya dianggap sama dengan agama yang anda yakini.

7. Tauhid adalah pelajaran yang sangat penting. Belajarlah materi tauhid atau akidah dengan baik. Jangan pernah bosan. Dengan belajar tauhid, kita akan tahu dengan yakin, bahwa apa yang disampaikan pak Kiai M-I-A dalam potongan video tersebut tidaklah benar.

✍ Ujang Pramudhiarto, Lc, M.Pd.I
Guru yang Tidak Piawai atau Murid yang Sombong?

Guru yang Tidak Piawai atau Murid yang Sombong?

Guru yang Tidak Piawai atau Murid yang Sombong?

Pernahkah ikut majelis ilmu, tetapi kamu sulit mengerti apa yang disampaikan oleh si pengajar? Lalu kamu kesal karenanya? Aku pernah.

Beberapa tahun yang lalu, masjid dekat rumahku kerap memanggil seorang ustadz yang satu ini. Baik ketika Ramadhan maupun hari-hari biasa. Dia spesialis di bidang ilmu tafsir dan tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa). Sepertinya, beliau adalah favorit masjid ini. Soalnya dia punya jadwal tetap mingguan.

Sayangnya, aku tidak pernah menyukainya. Bukan karena tabiatnya menyebalkan. Bukan. Namun, karena aku tidak pernah mengerti isi ceramahnya.

Ceramah oleh ustadz lain biasanya lebih mudah aku serap. Namun, tidak untuk ustadz yang satu ini. Menurutku, dia bertutur kata terlalu cepat, sehingga maknanya sulit aku tangkap. Intonasinya juga kadang terlalu berapi-api, seakan sedang memarahi para hadirin. Dan aku sama sekali tidak suka itu.

Alih-alih mendapat ilmu, aku justru kesal padanya. Aku dengar dia lulusan S3 luar negeri, tetapi kok cara mengajarnya payah sekali? Paling hanya 5% dari ceramahnya yang bisa aku mengerti.

Yang lebih mengherankan, mengapa dia paling sering dipanggil ke masjid ini? Padahal banyak yang lebih baik. Aku pun semakin kesal, tetapi ku pendam saja. Soalnya, beliau adalah salah satu penceramah favorit bapakku.

Lalu, waktu pun bergulir. Aku belajar lebih banyak hal sejaknya.

Tahun lalu, aku diajak ke masjid oleh bapak untuk shalat maghrib. Bapak bersemangat karena ustadz-yang-aku-kesal-padanya itu akan memberikan ceramah. Ternyata beliau masih sering di undang ke masjid. Kalau tidak salah, waktu ceramahnya adalah ba’da maghrib. Aku pun menuruti ajakan bapak. Meski pernah kesal pada si ustadz, aku coba menetralkan perasaan. Niatku adalah menuntut ilmu.

Waktu itu, Si ustadz-yang-aku-kesal-padanya biasa berceramah dengan menggunakan notebook dan LCD projector. Metode yang cukup unik, karena di masjid ini cuma dia yang memakainya. Ada sih yang lebih unik. Namun lain kali saja ku ceritakan.

Singkat cerita, Si ustadz-yang-aku-kesal-padanya pun memulai ceramahnya.

Kawan, di luar dugaan, kali ini aku mengerti isi ceramahnya! kata-katanyasatu per satu masuk ke dalam kepalaku dengan lancar. Bahkan sebagian di antaranya menggetarkan hatiku. Membuat bulu kuduk berdiri. Kata-katanya seakan beresonansi dengan apa yang telah aku pelajari beberapa tahun terakhir.

Aku tertegun. Aku bisa mendapat pemahaman dari orang yang pernah aku kesali, aku sinisi, dan aku cela cara mengajarnya beberapa tahun lalu. Siapa sangka?

Dari sini, aku dapat sebuah pelajaran berharga. Saat aku merasa kesulitan menerima sebuah ilmu, aku malah congkak. Yang ku lakukan justru mencari kesalahan si pengajar. Mencela cara mengajarnya, bahkan gesturnya. Konyol sekali. Padahal, faktanya aku memang masih bodoh. Ilmuku belum sampai sana. Sesederhana itu.

Mungkin bisa menjadi nasehat bagimu. Jangan sampai egomu menghalangi naluri belajarmu. Senantiasa merendah dalam belajar. Kalau belum paham, mungkin usahamu yang perlu diperkeras.

- Khalid -

Thursday 8 June 2017

8 Tips Menanamkan Al Qur'an di Hati Anak saat bulan Ramadhan

8 Tips Menanamkan Al Qur'an di Hati Anak saat bulan Ramadhan

Alquran adalah firman Allah. Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan bagi setiap orang tua Muslim untuk menyaksikan anak-anak mereka mencintai Alquran.

Mencintai Al-Qur'an bukanlah hanya sebatas menghafal ayat tertentu ketika diperintahkan untuk melakukannya. Ketika seorang anak mencintai Al-Qur'an, ia merasakan dorongan untuk membaca ayat sepanjang hari, mengerti apa yang dia ucapkan, dan tertarik pada segala sesuatu yang berhubungan dengan Alquran. Anak-anak didominasi oleh lingkungan sekitar dan pengasuh utama mereka. Jadi, peran orang tua sangat penting dalam membantu anak mengembangkan ikatan yang kuat dan penuh kasih dengan Alquran.

Berikut adalah delapan tips untuk membantu Anda menanamkan cinta Quran di hati anak Anda:

1. Buatlah doa (permohonan).

Do'a adalah senjata terkuat dari orang beriman, terutama untuk orang tua kepada anak-anaknya. Tidak ada yang terjadi kecuali dengan izin Allah, dan Allah dapat membuat segala sesuatu menjadi mungkin. Untuk membuat doa, Anda harus terlebih dahulu menyucikan niat Anda dan ingat bahwa segala sesuatu yang baik yang Anda lakukan atau yang harus dilakukan harus selalu dilakukan demi Allah. Ingatkan diri Anda akan kebajikan al-Qur'an agar tetap termotivasi.

 "Inilah Kitab yang tidak ada keraguannya, sebuah panduan bagi mereka yang sadar akan Allah." (QS Al Baqarah 2: 2)

Jangan lupa bahwa sebagai orang tua, adalah tugas Anda untuk menjaga anak-anak Anda dan memastikan mereka melakukan apa yang berkenan kepada Allah.

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..." (Surah At-Tahrim 66: 6)

2. Anak-anak Anda harus sering mendengarkan Alquran.

Mulai bahkan sebelum anak-anak Anda lahir; Saat Anda masih hamil Saat merawat rumah, memasak, atau sekadar bersantai, bacalah al Quran sebanyak yang Anda bisa. Biarkan Alquran menenangkan bayi saat mereka merasa cemas atau menangis. Seiring pertumbuhan anak-anak Anda, teruskan perdengarkan audio bacaan Al-Qur'an di sekitar mereka beberapa menit sekali. Hal ini sangat penting bagi anak-anak untuk mengenal Alquran karena hal ini pada akhirnya akan memudahkan mereka untuk membaca dan bahkan menghafal InsyaAllah. Anda tidak perlu duduk anak-anak Anda berjam-jam karena mereka memiliki rentang perhatian yang jauh lebih pendek. Jangan membatasi bacaan dengan hanya Juz 'Amma karena fokus di sini adalah untuk membiasakan mereka dengan Alquran, tidak menghafal.

3. Pergi ke makna ayat / bab.

"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. ." (Surah Sad 38:29)

Selain mendengarkan Alquran setiap hari, cobalah membahas arti ayat / surah. Jangan terlalu membebani mereka dengan terlalu banyak detail. Hanya memberitahu mereka cukup untuk menarik perhatian dan minat mereka. Gaya penyampaian Anda harus sesuai usia agar anak Anda mengerti dan mengikutinya dengan mudah.

4. Bagikan kisah indah Alquran.

 "Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya engkau sebelum itu (Kami mewahyukan) termasuk orang-orang yang belum mengetahui." (Surah Yusuf 12: 3)

Allah menceritakan beberapa cerita dalam Al Qur'an, dan setiap cerita disertai pelajaran dan / atau inspirasi. Anda bisa berbagi cerita ini dengan anak-anak Anda dengan membaca buku anak-anak atau dengan menonton video kartun Islam yang terkait dengan topik ini. Berbagi cerita dari Al Qur'an membantu anak-anak memvisualisasikan Alquran sedikit lebih dan meningkatkan pemahaman mereka.

5. Tenang dan dorong mereka.

Tenanglah pada anak-anak Anda dan jangan memaksakan mereka untuk melakukan terlalu banyak sekaligus. Jangan sampai mendengarkan al Qur'an menjadi sebuah tugas. Konsisten, tapi beberapa menit pada satu waktu adalah semua yang Anda butuhkan untuk menarik perhatian anak-anak Anda. Akhirnya, mereka bahkan mungkin ingin mendengarkan / membaca untuk waktu yang lebih lama. Juga, cintai dan hindari hukuman karena hukuman bisa membuat anak-anak Anda memiliki semacam kebencian terhadap Alquran atau mungkin akan membuat mereka cukup takut untuk mendengarkan Al Qur'an saat Anda berada di sekitar atau karena Anda mengatakannya. Ingat, tujuannya adalah agar mereka mencintai Al Qur'an, tidak hanya mendengarkannya untuk menyenangkan hati Anda. Semakin banyak cinta yang mereka miliki untuk Alquran, maka mereka akan semakin mengingat Allah.

 "Orang-orang yg telah beriman & hati mereka jadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdzikir (mengingat) Allah maka hati akan menjadi tenteram." (Surah Ar-Ra'd 13:28)

Secara verbal dorong anak-anak Anda setiap kali mereka mendengarkan / membaca Al Qur'an. Senyum, biarkan mereka tahu seberapa baik Anda berpikir tentang apa yang mereka lakukan, dan betapa bangganya Anda dengan mereka. Cobalah untuk tidak membuat mereka terbiasa dengan hadiah nyata. Jika Anda mendapatkan mereka hadiah, membuatnya langka dan spontan. Anda tidak ingin anak-anak Anda membuat hubungan antara membaca Al Qur'an dan penghargaan instan dan nyata. Melainkan, biasakan untuk menjelaskan kepada mereka kebajikan al-Qur'an seperti penyembuhan dan perbuatan baik.

"Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman..." (Surah Al Isra' 17:82)

6. Melakukan kegiatan-kegiatan keluarga dan bermain game.

Lakukan kegiatan bersama seluruh keluarga dan datanglah dengan permainan yang sesuai berdasarkan fakta dari Al Qur'an. Contohnya adalah melakukan kuis dan menyiapkan tim yang berbeda untuk saling bertanding dengan cara yang kompetitif namun penuh kasih dan menyenangkan. Contoh lainnya adalah melakukan kegiatan yang mengharuskan setiap orang untuk berpartisipasi dengan melakukan penelitian dan melakukan kerajinan kreatif.

7. Dorong mereka untuk membagikan apa yang telah mereka pelajari.

"Diriwayatkan oleh Utsman (ra dengan dia); Nabi (saw) berkata: "Yang terbaik di antara kamu (Muslim) adalah mereka yang belajar Alquran dan mengajarkannya." 1

Seiring meningkatnya pengetahuan anak-anak Anda tentang Alquran, biarkan mereka membagikannya kepada Anda. Juga, buat mereka cukup nyaman untuk mengoreksi Anda saat Anda membuat kesalahan dalam pembacaan Anda. Anda ingin mereka menjadi yang terbaik dengan mengajarkan apa yang telah mereka pelajari.

8. Perlihatkan dengan contoh.

Sederhananya, tindakan lebih keras daripada kata-kata. Anak-anak belajar lebih baik saat mereka melihat contoh, bukan saat mereka disuruh melakukannya. Dengarkan dan bacalah Alquran setiap hari; Bahkan untuk beberapa menit sekaligus. Tunjukkan pada anak-anak Anda pentingnya Alquran dan betapa Anda mencintai Alquran akan mendorong mereka untuk mengikuti jejak Anda diShaa Allah.

"Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. " (Surah At-Tur 52:21)

Pada akhir hari, yang bisa Anda lakukan hanyalah mencoba yang terbaik dan mempercayai Allah. Hasil pada segala hal terserah kepada Allah saja. Kita semua ingin dipertemukan kembali dengan anak-anak kita di Jannah, jadi ayo kita berusaha untuk berbuat baik dan bantu mereka melakukan hal yang sama InsyaAllah.

Sunday 16 July 2017

Shalatlah

Shalatlah


Shalatlah, kawan

Aku tahu, shalat wajib seringkali menjadi rutinitas yang berat untuk dilakukan. Terutama di kalangan generasi muda, di mana dunia mereka sangat dibentuk oleh gadget dan lingkaran pertemanan. Maka saat mereka tenggelam di dalam ‘dunia’ itu, segala sesuatu di luar itu menjadi tidak relevan. Segalanya. Termasuk Islam sekalipun, termasuk shalat sekalipun.

Maka, akan aku katakan padamu sekali lagi: shalatlah, kawan.

“Ah, khalid… mengapa aku harus shalat?

Jujur saja, shalat itu tidak seru. Monoton. Tidak seasyik bergadget ria, bersosmed, dan berkumpul dengan teman yang penuh canda dan tawa. Hidupku sudah cukup dengan itu.

Aku tidak akan bohong, aku tidak menemukan alasan yang kuat mengapa aku harus shalat.”

Ah, itu pertanyaan yang sangat bagus. Jujur pula. Tidak perlu khawatir, kawan, saat aku jauh lebih muda, aku juga kesulitan menemukan alasan yang kuat mengapa aku harus shalat. Aku mengerti itu. Faktanya, aku menghabiskan separuh hidupku untuk mencari alasan itu.

Alhamdulillah, seiring waktu, akhirnya aku menemukan alasanku sendiri. Apakah alasan ini berlaku untukmu? Entahlah. Namun akan aku ceritakan padamu.

***

Mengapa harus shalat? Apakah karana ia wajib? Shalat memang wajib, tetapi ada alasan yang lebih kuat dari itu.

Apa karena shalat mendatangkan pahala? Itu betul, tetapi ada alasan yang lebih kuat dari itu.

Apa karena shalat adalah salah satu syarat utama masuk surga dan bila ditinggalkan masuk neraka? Itu juga betul, tetapi ada alasan yang lebih kuat dari itu.

“Wajib”, “dosa”, “pahala”, “surga”, dan “neraka” adalah lima alasan yang kerap ditekankan orang-orang di sekitarku saat mereka menasehatiku untuk shalat. Namun, aku mendapati tidak ada satupun dari alasan itu yang benar-benar membuatku tertarik untuk shalat. Aku malah takut dibuatnya, terutama alasan “dosa” dan “neraka”, yang alih-alih memotivasi, malah membuatku meringkuk gemetaran dan jauh dari shalat.

Padahal, ada satu alasan lagi. Dan ini, bagiku, adalah alasan yang terkuat.

Shalat dilakukan… karena ia membuatmu bahagia.

Itu.

Itu alasannya.

Shalat itu membahagiakan karena sifat alami dunia ini.

Kamu tahu, dunia ini diciptakan untuk memaksa kita berlari. Bahkan tidak sekedar berlari, tetapi berlari sangat kencang. Demi mengejar cita-cita, ambisi, dan pencapaian-pencapaian lain. Demi meraih “standar hidup bahagia” yang diciptakan oleh para manusia, yang notabene makhluk-makhluk yang sangat egois.

Namun berlari terlalu kencang juga punya resikonya, kawan, yaitu rentan tersandung dan terjatuh. Lalu tersungkur menyakitkan. Meninggalkan luka dan lebam di sekujur tubuh yang mungkin tak akan sembuh dalam waktu singkat.

Kalau pun kamu tidak tersandung, sudah pasti kamu akan kelelahan. Otot-otot akan kram. Peluh di pelipis akan jatuh melewati bulu mata menuju bola mata dan mengaburkan pandangan. Kamu akan berpikir, sebaiknya berhenti berlari saja. Tidak perlu melanjutkannya lagi. Diam saja di tempat seperti patung yang mati.

Tidak ada yang mau terjatuh atau hanya diam saja, kan?

Maka itu, shalat wajib lima waktu ada sebagai REM dari larimu itu.

Supaya larimu yang beringas dan tak terkendali itu melambat dan terjaga pada kecepatan yang wajar. Membuat ritme langkahmu lebih teratur, pun staminamu terjaga sehingga kamu tetap semangat untuk terus berlari, minimal berjalan maju.

Dan mana kala ada persimpangan di hadapanmu, kamu bisa melambat sejenak dan merenung: arah mana yang harus kamu ambil? Apakah kanan, kiri, atau arah yang lurus?

Tidak semua jalan mengantarkanmu pada tujuan, kawan. Banyak sekali di antaranya membuatmu linglung, tak tahu harus kemana. Maka shalat akan membantumu menentukan arah dan memantapkannya. Kebahagiaan pun akan datang dari sana.

Dan sungguh, kawan, bila shalat membuatmu bahagia, apa kamu butuh alasan lain untuk melakukannya? Tidak perlu, kan? Tidak ada manusia yang tidak menyukai kebahagiaan.

“Benarkah itu, khalid? Aku masih ragu… Toh, aku sudah cukup bahagia tanpa shalat. Bersama teman-temanku sudah cukup membahagiakan.”

Ah, pertemanan itu memang membahagiakan. Ia salah satu hal terindah. Namun seindah-indahnya pertemanan, sifatnya sementara. Teman itu datang dan pergi. Kebahagiaan yang datang darinya itu naik turun. Banyak jeda ‘kosong’ di antaranya. Pun sama halnya dengan banyak aktivitas lain di dunia ini.

Namun dari shalat, bahagia yang datang darinya tak lekang. Awet.

Kamu tahu? Satu waktu shalat yang ikhlas dan tuma’ninah bisa mendatangkan kebahagiaan untuk hari ini, besok, minggu depan, hingga bulan-bulan berikutnya. Ini terbukti. Bukan teori atau manis kata. Efeknya... luar biasa. Tidak ada yang seperti ini.

Inginkah merasakan sensasi menggiurkan itu?

Shalatlah dan buktikan sendiri.

- Khalid -

Thursday 13 July 2017

Berhijrah

Berhijrah


Aku rasa setiap muslim --terutama yang sudah akil bhaliq-- pasti pernah, sedang, atau InshaAllah akan melalui sebuah fase dalam hidup yang dinamakan “hijrah”.

Hijrah aku artikan sebagai sebuah proses menjadi seorang muslim yang lebih baik. Namun, dalam artikel ini, arti hijrah aku fokuskan pada masa peralihan seorang muslim yang menganggap agamanya sebagai 'asesoris' belaka menjadi seorang muslim yang menganggap agamanya sebagai jalan hidup mereka.

Atau --dengan bahasa yang sedang viral-- hijrah adalah proses di mana seorang muslim yang agamanya sekedar warisan berubah menjadi muslim yang agamanya adalah pilihan hatinya.

Berhijrah adalah keniscayaan bagi semua muslim yang memang serius ingin mendalami agamanya. Dan itu patut kita sadari karena tidak ada orang yang seketika menjadi alim sejak lahir. Bahkan tidak untuk nama-nama besar seperti Adi Hidayat, Khalid Basalamah, Felix Shiauw, Reza Syafi Basalamah, Aa Gym, dan Zainudin MZ sekalipun. Pasti semuanya pernah melewati fase hijrah.

Kalau kamu mengenal Nouman Ali Khan, mungkin kamu akan terkejut dengan masa mudanya. Nouman ternyata pernah menghabiskan masa remajanya untuk hura-hura, bahkan secara terang-terangan membenci komunitas Islam dan segala macam perilakunya. Bahkan beliau lupa berapa jumlah rakaat shalat Maghrib. Padahal beliau terlahir dalam keluarga muslim.

Namun atas izin Allah, pemuda asal Pakistan itu tergerak untuk mempelajari Al-Quran dan tumbuh besar menjadi seorang da’i. Beliau adalah inspirator lahirnya page “khalid” ini dan –menurutku-- salah satu da’i terbaik bagi generasi milenial.

***

Bila berkaca pada pengalamanku sendiri, hijrah memang sebuah fase yang spesial dan penuh perubahan. Umpama metamorfosis pada ulat, hijrah adalah kepompong yang mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Meskipun, tentu saja, hijrah tidak benar-benar mengubah tampilan fisik seseorang layaknya metamorfosis, tetapi sebatas mengubah pola pikir dan perilakunya.

Sebelum berhijrah, seseorang akan cenderung berpikir dan berperilaku bebas. Namun setelah berhijrah, rasa keterikatan pada Islam akan muncul, di mana rasa keterikatan itu perlahan akan menghapus kebiasaan, perilaku, ucapan, hingga minat-minat lamanya yang cenderung semaunya sendiri. Semuanya diganti dengan ketundukan pada aturan Islam.

Nah, bicara tentang minat, aku pribadi merasa bahwa faktor tersebut adalah yang paling terkena dampak dari hijrah. Ada setidaknya tiga minatku yang menurun drastis karena berhijrah.

Pertama, menurunnya minatku pada musik.

Meski bukan musisi, aku pernah jadi pecandu musik. Memasang earphone di telinga dan memutar ratusan lagu dari telepon pintar kerap menjadi ‘pelarian’-ku di kala bosan, senggang, atau sedang galau. Mendengarkan lagu dengan segala lirik manisnya bisa membuat sel-sel otakku lebih hidup dan bergembira. Penatku juga bisa hilang seketika.

Namun, ketika berhijrah, sensasi itu berubah drastis. Mendengar musik terasa ‘kosong’. Nada-nada indah dari sang vokalis dan berbagai instrumen yang dimainkan krunya --yang biasanya begitu mudah menenangkan hatiku—kini seakan diboikot oleh telingaku. Bukan berarti aku jadi benci musik, hanya saja aku jadi tidak menikmatinya seperti dulu.

Kedua, menurunnya minatku pada cerita-cerita fantasi.

Kamu tahu, aku pernah menjadi geek yang mengidolakan cerita-cerita berbasis imajinasi dan khayalan bebas. Novel-novel, komik-komik, dan film-film bertema fiksi ilmiah dan fantasi kerap aku santap karena alasan yang sama dengan mendengar musik: mereka membuat sel-sel otakku lebih hidup dan menghilangkan penat. Namun minat tersebut juga menurun drastis saat hijrah. Cerita-cerita fantasi itu jadi tidak semenggugah sebelumnya.

Ketiga, menurunnya minatku pada hobi menggambar.

Ya, aku pernah hobi menggambar. Hobi sekali, terutama menggambar manusia. Bisa berjam-jam waktu aku habiskan untuk menggambar. Bahkan aku pernah menggambar beberapa portait beraliran realis untuk aku berikan pada gadis-gadis yang aku taksir *uhuk*. Alasanku menggambar lagi-lagi sama dengan mendengar musik dan menikmati cerita fantasi: untuk bergembira dan menghilangkan penat. Namun, lagi-lagi pula, berhijrah telah menurunkan minat menggambarku. Bahkan aku tidak pernah menggambar lagi sekarang.

Semua perubahan itu terjadi secara natural seiring waktu. Begitu saja.

Kamu mungkin bertanya-tanya, mengapa perubahan-perubahan itu bisa terjadi???

Itu pertanyaan bagus. Ada alasan logis di baliknya.

Bila diperhatikan, ada seutas benang merah pada minatku terhadap 3 hal di atas. Baik musik, cerita fantasi, maupun menggambar, ketiganya adalah aktivitas yang begitu mengedepankan khayalan dan imajinasi bebas dari para penikmatnya. Mereka adalah hasil kreasi tanpa aturan yang mengikat.

Sementara itu, Islam adalah tentang realita --tentang kenyataan. Agama ini mengajarkan kita untuk menghadapi kenyataan-kenyataan paling pahit sekalipun dengan gagah berani. Bukan justru lari darinya, seperti dengan cara berkhayal dan berimajinasi bebas. Ugh! Pasalnya, dalam ilmu psikologi, berkhayal tanpa arah merupakan salah satu jenis “emotion focused-coping”, alias cara menyelesaikan masalah dengan cara berpura-pura masalah itu tidak pernah ada. Mudahnya, seperti lari dari kenyataan.

Nah, ketika kamu berhijrah, perlahan kamu akan mendapat kemampuan untuk menghadapi kenyataan dengan cara-cara yang lebih bertanggung jawab. Yang memang memiliki jalan keluar. Maka itulah, kebiasaanmu yang identik dengan lari dari kenyataan –seperti berimajinasi bebas tadi-- akan ditinggalkan dengan sendirinya. Mereka sudah satu paket.

Mungkin kamu akan bertanya lagi: bila konsekuensi hijrah adalah hilangnya minatmu pada segala sesuatu yang berbau khayalan dan imajinasi bebas, apakah hidup bakal terasa membosankan?

Ha, prasangka itu memang mungkin muncul.

Namun percayalah, di sini lah letak keindahan Islam. Di saat pikiranmu sedang berkelana tak tentu arah seperti musafir yang tidak membawa peta, Islam turun menjadi peta itu. Ia akan meluruskan arahmu dan memantapkan langkahmu, yang bila kamu titi dengan sabar, kedamaian hati akan kamu rengkuh.

Pikirkan, apalagi hadiah yang lebih manis dari kedamaian hati di tengah kehidupan yang penuh cela dan tidak sempurna ini?

Hanya Islam yang memberi kekuatan seperti ini. Maka itu, yuk berhijrah.

- Khalid -
Idolaku

Idolaku


Idolaku | www.shareislam.id
Butuh waktu hampir seumur hidupku untuk menyadari satu hal : bahwa tidak ada yang lebih layak menjadi idola nomor wahidku selain baginda Rasulullah Saw.

Aku sedikit menyesalinya. Pasalnya, ketika belum mengenal beliau, aku kerap merasa kekurangan.

Aku melihat sekelilingku dan meratap pilu.

Mengapa orang lain selalu memiliki apa yang tidak kumiliki?

Mengapa orang lain selalu selangkah lebih maju dari diriku?

Mengapa orang lain terlihat lebih independen dariku?

Melihat mereka, tak ayal, rasa iri dan kedengkian merundung diriku. Aku merasa tertinggal dan langkahku berat. Aku tak pernah merasa tenang.

Aku membenci diriku dan sering berandai bisa dilahirkan sebagai manusia yang berbeda. Manusia yang lebih mapan, lebih tampan, lebih pintar, lebih disukai, dan kelebihan lain yang bisa membuatku terlihat lebih mulia. Walau aku sadar, semua itu hanyalah angan kosong, yang hanya membuatku semakin bersedih.

Namun kemudian, aku mulai meniti rekam jejak sang baginda. Ku baca untaian kata-kata dari para cendekia yang menuturkan kisahnya.

Seketika, aku tertegun. Aku menunduk. Merasa berdosa.

Di dunia ini, mungkin tidak ada satu orang pun yang pernah kehilangan sebanyak baginda Rasulullah SAW.

Beliau telah kehilangan SEMUANYA.

Coba kamu sebutkan. Tenaga, waktu, ketenaran di mata kaum Quraisy, harta, rasa aman, dan nyaris pula jiwanya. Berkali-kali. Semua telah dikorbankannya demi memperjuangkan satu hal : tauhid.

Tauhid bukanlah kekayaan, kerupawanan, ketenaran, kepintaran, atau apa pun yang bisa membuat seseorang manusia tampak mulia di mata manusia lainnya. Ia hanyalah suatu keyakinan yang tidak kasat mata, tetapi melekat kuat di relung hati Baginda. Namun, hanya dengan itu, sang baginda rela mengorbankan segalanya.

Kota Tha’if menjadi saksi bisu pengorbanan baginda. Saat itu, beliau hanya berdua dengan salah satu sahabatnya, Zaid bin Haritsah. Beliau lalu menuturkan ide ketauhidan kepada penduduk Tha’if, yang ternyata dibalas dengan cemooh kasar dan lemparan-lemparan batu.

Baginda pun melarikan diri dari Tha’if dengan keadaan minimum. Beliau sangat lelah, berduka, dan sekujur tubuh penuh luka. Aku geram. Itukah yang didapatnya setelah sekian lama memperjuangkan tauhid? Sangat tidak adil, batinku.

Nampaknya, malaikat Jibril pun beropini demikian. Pasalnya, setelah itu sang malaikat turun mendatangi baginda. Dia memberi kabar dari Allah SWT. Kabar yang berisi izin kepada baginda untik menimpakan dua gunung terbesar di Mekkah kepada penduduk tha’if yang telah menorehkan luka di hati dan tubuhnya. Supaya mereka mati dan tahu rasa. Aku pun mengangguk setuju.

Namun, apa jawaban beliau?

“Jangan. Siapa tahu Allah akan mengeluarkan seseorang yang berucap kalimat ‘tiada tuhan selain Allah’dari rahim mereka.” (The Great Story of Muhammad, hal 178)

Aku merinding. Beliau telah kehilangan banyak hal, tetapi ia tidak kehilangan nuraninya..

Jadi, bagaimana mungkin aku masih merasa kekurangan? Sementara pernah ada seseorang yang telah kehilangan segalanya. Namun ia tak pernah merasa kekurangan. Tauhid selalu mencukupinya dan prasangka baik selalu menenangkannya. Dan ia adalah manusia termulia yang pernah ada.

Tak ayal, baginda Rasulullah SAW langsung menjadi idolaku. Dan selayaknya jadi idola siapapun. Demi ketenangan hatimu.

- Khalid -
Menanggapi Pernyataan KH Maman Imanulhaq yang Menyamakan Semua Agama

Menanggapi Pernyataan KH Maman Imanulhaq yang Menyamakan Semua Agama


Kaget juga ketika saya mendengar dan melihat sebuah cuplikan video yang disampaikan oleh seorang kiai, yang berinisial KH. M-I-A.
Dalam ceramahnya di sebuah tv swasta nasional itu, beliau mengatakan:

"Agama itu akan dilihat dari apa yang kita kerjakan. Jangan lihat apa agamamu, tapi lihat apa yang dikerjakan temanmu pada kita. Orang yang jujur, orang yang shalih, punya solidaritas sosial, punya dedikasi, punya loyalitas, apapun agamanya, dia pasti mendapat tempat yang terbaik di sisi Allah Subhaanahu wa Ta'ala".


Tanggapan:

1. Ada kontradiksi, ketika beliau mengatakan:

"orang yang shalih..."

setelah itu mengatakan:

"apapun agamanya".

Pertanyaan saya:
"Bisa tidak seseorang dikatakan shalih, kalau dia tidak memeluk agama Islam?".

Jawabannya:
tentu tidak bisa.

Pernahkan kita mendengar ungkapan:
"Seorang Nasrani yang shalih. Seorang Yahudi yang shalih. Seorang Majusi yang shalih".

Tentu tidak pernah. Karena shalih itu hanya untuk muslim saja.

2. Nampak sekali beliau hanya memperhatikan aspek-aspek sosial saja.
Tidak memperhatikan aspek keimanan.
Orang dianggap baik, jika dia sudah bisa jujur, punya solidaritas, punya loyalitas, punya dedikasi.

Kalau hanya dengan itu saja orang dianggap baik, maka kita tidak butuh yang namanya agama.
Kenapa?
Karena sifat-sifat itu bisa dimiliki oleh siapa saja, tanpa harus menunggu belajar agama.

Orang yang "fitrahnya" baikpun akan melakukan hal tersebut. Tanpa harus belajar agama.

Saya belajar agama Islam secara intensif, sejak kelas 2 SMA.

Tapi sebelum itu, saya sudah tahu jika jujur, punya jiwa solidaritas, punya dedikasi dan punya loyalitas, adalah hal-hal baik yang bisa kita lakukan di tengah masyarakat.

Semua orang sudah mengerti tentang hal itu.

Tentu, harus dikecualikan orang-orang gila atau tidak waras.
Karena mereka tidak akan faham dengan makna kejujuran dan 3 hal lain tersebut di atas.

3. Dari yang disampaikan, nampak sekali jika beliau ini menganggap semua agama itu sama.
Yang penting adalah kita bisa berbuat baik dengan sesama manusia.

Ini tidak benar.

Mengapa?

Karena manusia itu pada dasarnya diciptakan untuk ibadah.
Agar kita bisa menjadi hamba yang baik, ( karena banyak melakukan ibadah), maka kita harus mengembalikan dan menyesuaikan apa yang kita kerjakan ini, kepada apa yang diperintahkan kepada kita.

Kita menjadi orang jujur. Kenapa?
Karena Allah memerintahkan hal itu.

Kita menjadi orang yang berjiwa solidaritas tinggi.
Kenapa?
Karena Allah memerintahkan hal itu.

Kita menjadi orang yang punya loyalitas tinggi. Kenapa?
Karena Allah memerintahkan hal itu.

Kita menjadi orang yang berdedikasi tinggi. Kenapa?
Karena Allah memerintahkan hal itu.

Tentu, banyak sekali dalil yang menjelaskan atau memerintahkan keempat hal tersebut.

Kita mengerjakan kebaikan karena itu adalah bagian dari perintah. Dengan begitu kita dianggap oleh Allah sebagai hamba yang baik.

Kalau ada orang yang namanya A, meninggalkan minuman keras karena memang dia tidak suka minum minuman keras, maka dia tidak mendapatkan pahala apapun, meskipun dia meninggalkan sesuatu yang dilarang.
Kenapa? Karena dia meninggalkan sesuatu itu karena memang pada dasarnya sudah tidak suka.
Ada larangan atau tidak ada larangan, dia akan meninggalkannya.

Berbeda dengan B, dia suka minum minuman keras. Tapi minuman itu dia tinggalkan, karena ada larangan dari Allah. Dia meninggalkannya karena semata-mata ingin melakukan ketaatan kepada Allah. Maka dia mendapatkan pahala, karena ketaatan yang dilakukannya.

4. Ada banyak dalil, yang menunjukkan bahwa hanya Islam inilah agama yang benar di sisi Allah.
Diantaranya:
1. QS. Ali Imran: 19
2. QS. Ali Imran: 85
3. QS. Ali Imran: 86
4. QS. Al Maidah: 3
5. QS. Al Furqan: 23

6. Dan Ayat-Ayat lainnya

7. Sabda Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

"Demi (Allah) yang jiwa Muhammad di tanganNya, tidaklah seorangpun dari umat ini -baik Yahudi atau Nashrani- mendengar tentang aku, kemudian dia mati dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penduduk neraka".
(HR. Muslim, dari Abu Hurairah).

8. Dan Hadits-hadits yang lain.

5. Apa yang saya tulis ini bukan berarti saya menyalahkan-nyalahkan dan tidak menghormati pemeluk agama yang lain.

Tidak.
Tidak sama sekali.

Saya anak lulusan SMA.
Banyak teman sekolah saya yang beragama lain.

Saya tahu, bagaimana saya harus mengekspresikan nilai-nilai tauhid atau akidah yang saya yakini, dan bagaimana saya harus menghormati teman-teman pemeluk agama yang lain.

Prinsipnya adalah:
"Bagimu agamamu, bagiku agamaku"

Silakan anda beribadah menurut keyakinan anda.
Saya akan hormati anda.
Saya tidak akan ganggu anda.

Tapi saya tidak bisa terima, jika agama saya dianggap sama dengan agama yang anda yakini.

7. Tauhid adalah pelajaran yang sangat penting. Belajarlah materi tauhid atau akidah dengan baik. Jangan pernah bosan. Dengan belajar tauhid, kita akan tahu dengan yakin, bahwa apa yang disampaikan pak Kiai M-I-A dalam potongan video tersebut tidaklah benar.

✍ Ujang Pramudhiarto, Lc, M.Pd.I
Guru yang Tidak Piawai atau Murid yang Sombong?

Guru yang Tidak Piawai atau Murid yang Sombong?

Guru yang Tidak Piawai atau Murid yang Sombong?

Pernahkah ikut majelis ilmu, tetapi kamu sulit mengerti apa yang disampaikan oleh si pengajar? Lalu kamu kesal karenanya? Aku pernah.

Beberapa tahun yang lalu, masjid dekat rumahku kerap memanggil seorang ustadz yang satu ini. Baik ketika Ramadhan maupun hari-hari biasa. Dia spesialis di bidang ilmu tafsir dan tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa). Sepertinya, beliau adalah favorit masjid ini. Soalnya dia punya jadwal tetap mingguan.

Sayangnya, aku tidak pernah menyukainya. Bukan karena tabiatnya menyebalkan. Bukan. Namun, karena aku tidak pernah mengerti isi ceramahnya.

Ceramah oleh ustadz lain biasanya lebih mudah aku serap. Namun, tidak untuk ustadz yang satu ini. Menurutku, dia bertutur kata terlalu cepat, sehingga maknanya sulit aku tangkap. Intonasinya juga kadang terlalu berapi-api, seakan sedang memarahi para hadirin. Dan aku sama sekali tidak suka itu.

Alih-alih mendapat ilmu, aku justru kesal padanya. Aku dengar dia lulusan S3 luar negeri, tetapi kok cara mengajarnya payah sekali? Paling hanya 5% dari ceramahnya yang bisa aku mengerti.

Yang lebih mengherankan, mengapa dia paling sering dipanggil ke masjid ini? Padahal banyak yang lebih baik. Aku pun semakin kesal, tetapi ku pendam saja. Soalnya, beliau adalah salah satu penceramah favorit bapakku.

Lalu, waktu pun bergulir. Aku belajar lebih banyak hal sejaknya.

Tahun lalu, aku diajak ke masjid oleh bapak untuk shalat maghrib. Bapak bersemangat karena ustadz-yang-aku-kesal-padanya itu akan memberikan ceramah. Ternyata beliau masih sering di undang ke masjid. Kalau tidak salah, waktu ceramahnya adalah ba’da maghrib. Aku pun menuruti ajakan bapak. Meski pernah kesal pada si ustadz, aku coba menetralkan perasaan. Niatku adalah menuntut ilmu.

Waktu itu, Si ustadz-yang-aku-kesal-padanya biasa berceramah dengan menggunakan notebook dan LCD projector. Metode yang cukup unik, karena di masjid ini cuma dia yang memakainya. Ada sih yang lebih unik. Namun lain kali saja ku ceritakan.

Singkat cerita, Si ustadz-yang-aku-kesal-padanya pun memulai ceramahnya.

Kawan, di luar dugaan, kali ini aku mengerti isi ceramahnya! kata-katanyasatu per satu masuk ke dalam kepalaku dengan lancar. Bahkan sebagian di antaranya menggetarkan hatiku. Membuat bulu kuduk berdiri. Kata-katanya seakan beresonansi dengan apa yang telah aku pelajari beberapa tahun terakhir.

Aku tertegun. Aku bisa mendapat pemahaman dari orang yang pernah aku kesali, aku sinisi, dan aku cela cara mengajarnya beberapa tahun lalu. Siapa sangka?

Dari sini, aku dapat sebuah pelajaran berharga. Saat aku merasa kesulitan menerima sebuah ilmu, aku malah congkak. Yang ku lakukan justru mencari kesalahan si pengajar. Mencela cara mengajarnya, bahkan gesturnya. Konyol sekali. Padahal, faktanya aku memang masih bodoh. Ilmuku belum sampai sana. Sesederhana itu.

Mungkin bisa menjadi nasehat bagimu. Jangan sampai egomu menghalangi naluri belajarmu. Senantiasa merendah dalam belajar. Kalau belum paham, mungkin usahamu yang perlu diperkeras.

- Khalid -

Thursday 8 June 2017

8 Tips Menanamkan Al Qur'an di Hati Anak saat bulan Ramadhan

8 Tips Menanamkan Al Qur'an di Hati Anak saat bulan Ramadhan

Alquran adalah firman Allah. Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan bagi setiap orang tua Muslim untuk menyaksikan anak-anak mereka mencintai Alquran.

Mencintai Al-Qur'an bukanlah hanya sebatas menghafal ayat tertentu ketika diperintahkan untuk melakukannya. Ketika seorang anak mencintai Al-Qur'an, ia merasakan dorongan untuk membaca ayat sepanjang hari, mengerti apa yang dia ucapkan, dan tertarik pada segala sesuatu yang berhubungan dengan Alquran. Anak-anak didominasi oleh lingkungan sekitar dan pengasuh utama mereka. Jadi, peran orang tua sangat penting dalam membantu anak mengembangkan ikatan yang kuat dan penuh kasih dengan Alquran.

Berikut adalah delapan tips untuk membantu Anda menanamkan cinta Quran di hati anak Anda:

1. Buatlah doa (permohonan).

Do'a adalah senjata terkuat dari orang beriman, terutama untuk orang tua kepada anak-anaknya. Tidak ada yang terjadi kecuali dengan izin Allah, dan Allah dapat membuat segala sesuatu menjadi mungkin. Untuk membuat doa, Anda harus terlebih dahulu menyucikan niat Anda dan ingat bahwa segala sesuatu yang baik yang Anda lakukan atau yang harus dilakukan harus selalu dilakukan demi Allah. Ingatkan diri Anda akan kebajikan al-Qur'an agar tetap termotivasi.

 "Inilah Kitab yang tidak ada keraguannya, sebuah panduan bagi mereka yang sadar akan Allah." (QS Al Baqarah 2: 2)

Jangan lupa bahwa sebagai orang tua, adalah tugas Anda untuk menjaga anak-anak Anda dan memastikan mereka melakukan apa yang berkenan kepada Allah.

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..." (Surah At-Tahrim 66: 6)

2. Anak-anak Anda harus sering mendengarkan Alquran.

Mulai bahkan sebelum anak-anak Anda lahir; Saat Anda masih hamil Saat merawat rumah, memasak, atau sekadar bersantai, bacalah al Quran sebanyak yang Anda bisa. Biarkan Alquran menenangkan bayi saat mereka merasa cemas atau menangis. Seiring pertumbuhan anak-anak Anda, teruskan perdengarkan audio bacaan Al-Qur'an di sekitar mereka beberapa menit sekali. Hal ini sangat penting bagi anak-anak untuk mengenal Alquran karena hal ini pada akhirnya akan memudahkan mereka untuk membaca dan bahkan menghafal InsyaAllah. Anda tidak perlu duduk anak-anak Anda berjam-jam karena mereka memiliki rentang perhatian yang jauh lebih pendek. Jangan membatasi bacaan dengan hanya Juz 'Amma karena fokus di sini adalah untuk membiasakan mereka dengan Alquran, tidak menghafal.

3. Pergi ke makna ayat / bab.

"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. ." (Surah Sad 38:29)

Selain mendengarkan Alquran setiap hari, cobalah membahas arti ayat / surah. Jangan terlalu membebani mereka dengan terlalu banyak detail. Hanya memberitahu mereka cukup untuk menarik perhatian dan minat mereka. Gaya penyampaian Anda harus sesuai usia agar anak Anda mengerti dan mengikutinya dengan mudah.

4. Bagikan kisah indah Alquran.

 "Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya engkau sebelum itu (Kami mewahyukan) termasuk orang-orang yang belum mengetahui." (Surah Yusuf 12: 3)

Allah menceritakan beberapa cerita dalam Al Qur'an, dan setiap cerita disertai pelajaran dan / atau inspirasi. Anda bisa berbagi cerita ini dengan anak-anak Anda dengan membaca buku anak-anak atau dengan menonton video kartun Islam yang terkait dengan topik ini. Berbagi cerita dari Al Qur'an membantu anak-anak memvisualisasikan Alquran sedikit lebih dan meningkatkan pemahaman mereka.

5. Tenang dan dorong mereka.

Tenanglah pada anak-anak Anda dan jangan memaksakan mereka untuk melakukan terlalu banyak sekaligus. Jangan sampai mendengarkan al Qur'an menjadi sebuah tugas. Konsisten, tapi beberapa menit pada satu waktu adalah semua yang Anda butuhkan untuk menarik perhatian anak-anak Anda. Akhirnya, mereka bahkan mungkin ingin mendengarkan / membaca untuk waktu yang lebih lama. Juga, cintai dan hindari hukuman karena hukuman bisa membuat anak-anak Anda memiliki semacam kebencian terhadap Alquran atau mungkin akan membuat mereka cukup takut untuk mendengarkan Al Qur'an saat Anda berada di sekitar atau karena Anda mengatakannya. Ingat, tujuannya adalah agar mereka mencintai Al Qur'an, tidak hanya mendengarkannya untuk menyenangkan hati Anda. Semakin banyak cinta yang mereka miliki untuk Alquran, maka mereka akan semakin mengingat Allah.

 "Orang-orang yg telah beriman & hati mereka jadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdzikir (mengingat) Allah maka hati akan menjadi tenteram." (Surah Ar-Ra'd 13:28)

Secara verbal dorong anak-anak Anda setiap kali mereka mendengarkan / membaca Al Qur'an. Senyum, biarkan mereka tahu seberapa baik Anda berpikir tentang apa yang mereka lakukan, dan betapa bangganya Anda dengan mereka. Cobalah untuk tidak membuat mereka terbiasa dengan hadiah nyata. Jika Anda mendapatkan mereka hadiah, membuatnya langka dan spontan. Anda tidak ingin anak-anak Anda membuat hubungan antara membaca Al Qur'an dan penghargaan instan dan nyata. Melainkan, biasakan untuk menjelaskan kepada mereka kebajikan al-Qur'an seperti penyembuhan dan perbuatan baik.

"Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman..." (Surah Al Isra' 17:82)

6. Melakukan kegiatan-kegiatan keluarga dan bermain game.

Lakukan kegiatan bersama seluruh keluarga dan datanglah dengan permainan yang sesuai berdasarkan fakta dari Al Qur'an. Contohnya adalah melakukan kuis dan menyiapkan tim yang berbeda untuk saling bertanding dengan cara yang kompetitif namun penuh kasih dan menyenangkan. Contoh lainnya adalah melakukan kegiatan yang mengharuskan setiap orang untuk berpartisipasi dengan melakukan penelitian dan melakukan kerajinan kreatif.

7. Dorong mereka untuk membagikan apa yang telah mereka pelajari.

"Diriwayatkan oleh Utsman (ra dengan dia); Nabi (saw) berkata: "Yang terbaik di antara kamu (Muslim) adalah mereka yang belajar Alquran dan mengajarkannya." 1

Seiring meningkatnya pengetahuan anak-anak Anda tentang Alquran, biarkan mereka membagikannya kepada Anda. Juga, buat mereka cukup nyaman untuk mengoreksi Anda saat Anda membuat kesalahan dalam pembacaan Anda. Anda ingin mereka menjadi yang terbaik dengan mengajarkan apa yang telah mereka pelajari.

8. Perlihatkan dengan contoh.

Sederhananya, tindakan lebih keras daripada kata-kata. Anak-anak belajar lebih baik saat mereka melihat contoh, bukan saat mereka disuruh melakukannya. Dengarkan dan bacalah Alquran setiap hari; Bahkan untuk beberapa menit sekaligus. Tunjukkan pada anak-anak Anda pentingnya Alquran dan betapa Anda mencintai Alquran akan mendorong mereka untuk mengikuti jejak Anda diShaa Allah.

"Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. " (Surah At-Tur 52:21)

Pada akhir hari, yang bisa Anda lakukan hanyalah mencoba yang terbaik dan mempercayai Allah. Hasil pada segala hal terserah kepada Allah saja. Kita semua ingin dipertemukan kembali dengan anak-anak kita di Jannah, jadi ayo kita berusaha untuk berbuat baik dan bantu mereka melakukan hal yang sama InsyaAllah.

Asal SEO

Featured

[Featured][recentbylabel2]

Featured

[Featured][recentbylabel2]
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done