Berhijrah - ShareIslam
News Update
Loading...

Thursday 13 July 2017

Berhijrah


Aku rasa setiap muslim --terutama yang sudah akil bhaliq-- pasti pernah, sedang, atau InshaAllah akan melalui sebuah fase dalam hidup yang dinamakan “hijrah”.

Hijrah aku artikan sebagai sebuah proses menjadi seorang muslim yang lebih baik. Namun, dalam artikel ini, arti hijrah aku fokuskan pada masa peralihan seorang muslim yang menganggap agamanya sebagai 'asesoris' belaka menjadi seorang muslim yang menganggap agamanya sebagai jalan hidup mereka.

Atau --dengan bahasa yang sedang viral-- hijrah adalah proses di mana seorang muslim yang agamanya sekedar warisan berubah menjadi muslim yang agamanya adalah pilihan hatinya.

Berhijrah adalah keniscayaan bagi semua muslim yang memang serius ingin mendalami agamanya. Dan itu patut kita sadari karena tidak ada orang yang seketika menjadi alim sejak lahir. Bahkan tidak untuk nama-nama besar seperti Adi Hidayat, Khalid Basalamah, Felix Shiauw, Reza Syafi Basalamah, Aa Gym, dan Zainudin MZ sekalipun. Pasti semuanya pernah melewati fase hijrah.

Kalau kamu mengenal Nouman Ali Khan, mungkin kamu akan terkejut dengan masa mudanya. Nouman ternyata pernah menghabiskan masa remajanya untuk hura-hura, bahkan secara terang-terangan membenci komunitas Islam dan segala macam perilakunya. Bahkan beliau lupa berapa jumlah rakaat shalat Maghrib. Padahal beliau terlahir dalam keluarga muslim.

Namun atas izin Allah, pemuda asal Pakistan itu tergerak untuk mempelajari Al-Quran dan tumbuh besar menjadi seorang da’i. Beliau adalah inspirator lahirnya page “khalid” ini dan –menurutku-- salah satu da’i terbaik bagi generasi milenial.

***

Bila berkaca pada pengalamanku sendiri, hijrah memang sebuah fase yang spesial dan penuh perubahan. Umpama metamorfosis pada ulat, hijrah adalah kepompong yang mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Meskipun, tentu saja, hijrah tidak benar-benar mengubah tampilan fisik seseorang layaknya metamorfosis, tetapi sebatas mengubah pola pikir dan perilakunya.

Sebelum berhijrah, seseorang akan cenderung berpikir dan berperilaku bebas. Namun setelah berhijrah, rasa keterikatan pada Islam akan muncul, di mana rasa keterikatan itu perlahan akan menghapus kebiasaan, perilaku, ucapan, hingga minat-minat lamanya yang cenderung semaunya sendiri. Semuanya diganti dengan ketundukan pada aturan Islam.

Nah, bicara tentang minat, aku pribadi merasa bahwa faktor tersebut adalah yang paling terkena dampak dari hijrah. Ada setidaknya tiga minatku yang menurun drastis karena berhijrah.

Pertama, menurunnya minatku pada musik.

Meski bukan musisi, aku pernah jadi pecandu musik. Memasang earphone di telinga dan memutar ratusan lagu dari telepon pintar kerap menjadi ‘pelarian’-ku di kala bosan, senggang, atau sedang galau. Mendengarkan lagu dengan segala lirik manisnya bisa membuat sel-sel otakku lebih hidup dan bergembira. Penatku juga bisa hilang seketika.

Namun, ketika berhijrah, sensasi itu berubah drastis. Mendengar musik terasa ‘kosong’. Nada-nada indah dari sang vokalis dan berbagai instrumen yang dimainkan krunya --yang biasanya begitu mudah menenangkan hatiku—kini seakan diboikot oleh telingaku. Bukan berarti aku jadi benci musik, hanya saja aku jadi tidak menikmatinya seperti dulu.

Kedua, menurunnya minatku pada cerita-cerita fantasi.

Kamu tahu, aku pernah menjadi geek yang mengidolakan cerita-cerita berbasis imajinasi dan khayalan bebas. Novel-novel, komik-komik, dan film-film bertema fiksi ilmiah dan fantasi kerap aku santap karena alasan yang sama dengan mendengar musik: mereka membuat sel-sel otakku lebih hidup dan menghilangkan penat. Namun minat tersebut juga menurun drastis saat hijrah. Cerita-cerita fantasi itu jadi tidak semenggugah sebelumnya.

Ketiga, menurunnya minatku pada hobi menggambar.

Ya, aku pernah hobi menggambar. Hobi sekali, terutama menggambar manusia. Bisa berjam-jam waktu aku habiskan untuk menggambar. Bahkan aku pernah menggambar beberapa portait beraliran realis untuk aku berikan pada gadis-gadis yang aku taksir *uhuk*. Alasanku menggambar lagi-lagi sama dengan mendengar musik dan menikmati cerita fantasi: untuk bergembira dan menghilangkan penat. Namun, lagi-lagi pula, berhijrah telah menurunkan minat menggambarku. Bahkan aku tidak pernah menggambar lagi sekarang.

Semua perubahan itu terjadi secara natural seiring waktu. Begitu saja.

Kamu mungkin bertanya-tanya, mengapa perubahan-perubahan itu bisa terjadi???

Itu pertanyaan bagus. Ada alasan logis di baliknya.

Bila diperhatikan, ada seutas benang merah pada minatku terhadap 3 hal di atas. Baik musik, cerita fantasi, maupun menggambar, ketiganya adalah aktivitas yang begitu mengedepankan khayalan dan imajinasi bebas dari para penikmatnya. Mereka adalah hasil kreasi tanpa aturan yang mengikat.

Sementara itu, Islam adalah tentang realita --tentang kenyataan. Agama ini mengajarkan kita untuk menghadapi kenyataan-kenyataan paling pahit sekalipun dengan gagah berani. Bukan justru lari darinya, seperti dengan cara berkhayal dan berimajinasi bebas. Ugh! Pasalnya, dalam ilmu psikologi, berkhayal tanpa arah merupakan salah satu jenis “emotion focused-coping”, alias cara menyelesaikan masalah dengan cara berpura-pura masalah itu tidak pernah ada. Mudahnya, seperti lari dari kenyataan.

Nah, ketika kamu berhijrah, perlahan kamu akan mendapat kemampuan untuk menghadapi kenyataan dengan cara-cara yang lebih bertanggung jawab. Yang memang memiliki jalan keluar. Maka itulah, kebiasaanmu yang identik dengan lari dari kenyataan –seperti berimajinasi bebas tadi-- akan ditinggalkan dengan sendirinya. Mereka sudah satu paket.

Mungkin kamu akan bertanya lagi: bila konsekuensi hijrah adalah hilangnya minatmu pada segala sesuatu yang berbau khayalan dan imajinasi bebas, apakah hidup bakal terasa membosankan?

Ha, prasangka itu memang mungkin muncul.

Namun percayalah, di sini lah letak keindahan Islam. Di saat pikiranmu sedang berkelana tak tentu arah seperti musafir yang tidak membawa peta, Islam turun menjadi peta itu. Ia akan meluruskan arahmu dan memantapkan langkahmu, yang bila kamu titi dengan sabar, kedamaian hati akan kamu rengkuh.

Pikirkan, apalagi hadiah yang lebih manis dari kedamaian hati di tengah kehidupan yang penuh cela dan tidak sempurna ini?

Hanya Islam yang memberi kekuatan seperti ini. Maka itu, yuk berhijrah.

- Khalid -

Share with your friends

Give us your opinion

Thursday 13 July 2017

Berhijrah


Aku rasa setiap muslim --terutama yang sudah akil bhaliq-- pasti pernah, sedang, atau InshaAllah akan melalui sebuah fase dalam hidup yang dinamakan “hijrah”.

Hijrah aku artikan sebagai sebuah proses menjadi seorang muslim yang lebih baik. Namun, dalam artikel ini, arti hijrah aku fokuskan pada masa peralihan seorang muslim yang menganggap agamanya sebagai 'asesoris' belaka menjadi seorang muslim yang menganggap agamanya sebagai jalan hidup mereka.

Atau --dengan bahasa yang sedang viral-- hijrah adalah proses di mana seorang muslim yang agamanya sekedar warisan berubah menjadi muslim yang agamanya adalah pilihan hatinya.

Berhijrah adalah keniscayaan bagi semua muslim yang memang serius ingin mendalami agamanya. Dan itu patut kita sadari karena tidak ada orang yang seketika menjadi alim sejak lahir. Bahkan tidak untuk nama-nama besar seperti Adi Hidayat, Khalid Basalamah, Felix Shiauw, Reza Syafi Basalamah, Aa Gym, dan Zainudin MZ sekalipun. Pasti semuanya pernah melewati fase hijrah.

Kalau kamu mengenal Nouman Ali Khan, mungkin kamu akan terkejut dengan masa mudanya. Nouman ternyata pernah menghabiskan masa remajanya untuk hura-hura, bahkan secara terang-terangan membenci komunitas Islam dan segala macam perilakunya. Bahkan beliau lupa berapa jumlah rakaat shalat Maghrib. Padahal beliau terlahir dalam keluarga muslim.

Namun atas izin Allah, pemuda asal Pakistan itu tergerak untuk mempelajari Al-Quran dan tumbuh besar menjadi seorang da’i. Beliau adalah inspirator lahirnya page “khalid” ini dan –menurutku-- salah satu da’i terbaik bagi generasi milenial.

***

Bila berkaca pada pengalamanku sendiri, hijrah memang sebuah fase yang spesial dan penuh perubahan. Umpama metamorfosis pada ulat, hijrah adalah kepompong yang mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Meskipun, tentu saja, hijrah tidak benar-benar mengubah tampilan fisik seseorang layaknya metamorfosis, tetapi sebatas mengubah pola pikir dan perilakunya.

Sebelum berhijrah, seseorang akan cenderung berpikir dan berperilaku bebas. Namun setelah berhijrah, rasa keterikatan pada Islam akan muncul, di mana rasa keterikatan itu perlahan akan menghapus kebiasaan, perilaku, ucapan, hingga minat-minat lamanya yang cenderung semaunya sendiri. Semuanya diganti dengan ketundukan pada aturan Islam.

Nah, bicara tentang minat, aku pribadi merasa bahwa faktor tersebut adalah yang paling terkena dampak dari hijrah. Ada setidaknya tiga minatku yang menurun drastis karena berhijrah.

Pertama, menurunnya minatku pada musik.

Meski bukan musisi, aku pernah jadi pecandu musik. Memasang earphone di telinga dan memutar ratusan lagu dari telepon pintar kerap menjadi ‘pelarian’-ku di kala bosan, senggang, atau sedang galau. Mendengarkan lagu dengan segala lirik manisnya bisa membuat sel-sel otakku lebih hidup dan bergembira. Penatku juga bisa hilang seketika.

Namun, ketika berhijrah, sensasi itu berubah drastis. Mendengar musik terasa ‘kosong’. Nada-nada indah dari sang vokalis dan berbagai instrumen yang dimainkan krunya --yang biasanya begitu mudah menenangkan hatiku—kini seakan diboikot oleh telingaku. Bukan berarti aku jadi benci musik, hanya saja aku jadi tidak menikmatinya seperti dulu.

Kedua, menurunnya minatku pada cerita-cerita fantasi.

Kamu tahu, aku pernah menjadi geek yang mengidolakan cerita-cerita berbasis imajinasi dan khayalan bebas. Novel-novel, komik-komik, dan film-film bertema fiksi ilmiah dan fantasi kerap aku santap karena alasan yang sama dengan mendengar musik: mereka membuat sel-sel otakku lebih hidup dan menghilangkan penat. Namun minat tersebut juga menurun drastis saat hijrah. Cerita-cerita fantasi itu jadi tidak semenggugah sebelumnya.

Ketiga, menurunnya minatku pada hobi menggambar.

Ya, aku pernah hobi menggambar. Hobi sekali, terutama menggambar manusia. Bisa berjam-jam waktu aku habiskan untuk menggambar. Bahkan aku pernah menggambar beberapa portait beraliran realis untuk aku berikan pada gadis-gadis yang aku taksir *uhuk*. Alasanku menggambar lagi-lagi sama dengan mendengar musik dan menikmati cerita fantasi: untuk bergembira dan menghilangkan penat. Namun, lagi-lagi pula, berhijrah telah menurunkan minat menggambarku. Bahkan aku tidak pernah menggambar lagi sekarang.

Semua perubahan itu terjadi secara natural seiring waktu. Begitu saja.

Kamu mungkin bertanya-tanya, mengapa perubahan-perubahan itu bisa terjadi???

Itu pertanyaan bagus. Ada alasan logis di baliknya.

Bila diperhatikan, ada seutas benang merah pada minatku terhadap 3 hal di atas. Baik musik, cerita fantasi, maupun menggambar, ketiganya adalah aktivitas yang begitu mengedepankan khayalan dan imajinasi bebas dari para penikmatnya. Mereka adalah hasil kreasi tanpa aturan yang mengikat.

Sementara itu, Islam adalah tentang realita --tentang kenyataan. Agama ini mengajarkan kita untuk menghadapi kenyataan-kenyataan paling pahit sekalipun dengan gagah berani. Bukan justru lari darinya, seperti dengan cara berkhayal dan berimajinasi bebas. Ugh! Pasalnya, dalam ilmu psikologi, berkhayal tanpa arah merupakan salah satu jenis “emotion focused-coping”, alias cara menyelesaikan masalah dengan cara berpura-pura masalah itu tidak pernah ada. Mudahnya, seperti lari dari kenyataan.

Nah, ketika kamu berhijrah, perlahan kamu akan mendapat kemampuan untuk menghadapi kenyataan dengan cara-cara yang lebih bertanggung jawab. Yang memang memiliki jalan keluar. Maka itulah, kebiasaanmu yang identik dengan lari dari kenyataan –seperti berimajinasi bebas tadi-- akan ditinggalkan dengan sendirinya. Mereka sudah satu paket.

Mungkin kamu akan bertanya lagi: bila konsekuensi hijrah adalah hilangnya minatmu pada segala sesuatu yang berbau khayalan dan imajinasi bebas, apakah hidup bakal terasa membosankan?

Ha, prasangka itu memang mungkin muncul.

Namun percayalah, di sini lah letak keindahan Islam. Di saat pikiranmu sedang berkelana tak tentu arah seperti musafir yang tidak membawa peta, Islam turun menjadi peta itu. Ia akan meluruskan arahmu dan memantapkan langkahmu, yang bila kamu titi dengan sabar, kedamaian hati akan kamu rengkuh.

Pikirkan, apalagi hadiah yang lebih manis dari kedamaian hati di tengah kehidupan yang penuh cela dan tidak sempurna ini?

Hanya Islam yang memberi kekuatan seperti ini. Maka itu, yuk berhijrah.

- Khalid -

SHARE THIS

Author:

Etiam at libero iaculis, mollis justo non, blandit augue. Vestibulum sit amet sodales est, a lacinia ex. Suspendisse vel enim sagittis, volutpat sem eget, condimentum sem.

0 comments:

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done